Kedudukan Departemen Sosial dalam Penindakan Penyandang Disabilitas

Dari ‘Penindakan’ ke Perlindungan Holistik: Mengurai Peran Kementerian Sosial bagi Penyandang Disabilitas

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan tuntutan akan kesetaraan, isu penyandang disabilitas seringkali luput dari perhatian utama, atau bahkan disalahpahami. Istilah "penindakan" yang kerap dilekatkan pada peran lembaga negara dalam menangani penyandang disabilitas—terutama yang berada di jalanan atau dalam kondisi rentan—membutuhkan peninjauan ulang yang mendalam. Kementerian Sosial (Kemensos), sebagai garda terdepan perlindungan sosial di Indonesia, memiliki kedudukan krusial yang jauh melampaui sekadar "penindakan," bergerak menuju pendekatan holistik berbasis hak asasi manusia.

Transformasi Paradigma: Dari Belas Kasihan ke Hak Asasi

Sejarah penanganan penyandang disabilitas di Indonesia, dan di banyak negara, awalnya didominasi oleh paradigma medis dan karitatif. Penyandang disabilitas seringkali dipandang sebagai objek belas kasihan yang membutuhkan perawatan atau pengobatan, alih-alih subjek hukum yang memiliki hak-hak setara. Departemen Sosial pada masa itu cenderung berfokus pada rehabilitasi fisik dan penyediaan panti.

Namun, seiring ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) oleh Indonesia pada tahun 2011 dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, paradigma ini telah bergeser secara fundamental. UU No. 8 Tahun 2016 menegaskan bahwa penyandang disabilitas adalah warga negara yang memiliki hak asasi yang sama, dan negara wajib menjamin, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut tanpa diskriminasi. Dalam konteks inilah, peran Kementerian Sosial mengalami transformasi signifikan.

Kedudukan Kementerian Sosial dalam Kerangka Hukum

Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2016 dan peraturan pelaksananya, Kementerian Sosial memiliki kedudukan sentral dan multifungsi:

  1. Pelaksana Mandat Negara untuk Perlindungan Sosial: Kemensos bertanggung jawab langsung dalam penyelenggaraan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas, termasuk pencegahan kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan diskriminasi. Ini mencakup pemberian bantuan sosial, jaminan sosial, dan penjangkauan (outreach) bagi penyandang disabilitas yang paling rentan.

  2. Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Komprehensif: Tidak lagi hanya fokus pada rehabilitasi fisik, Kemensos menyelenggarakan rehabilitasi sosial yang meliputi aspek fisik, mental, sosial, dan vokasional. Tujuannya adalah mengembalikan fungsi sosial penyandang disabilitas agar dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Layanan ini dapat berupa panti atau, yang lebih diutamakan, berbasis komunitas.

  3. Pemberdayaan dan Fasilitasi Hak: Kemensos berperan dalam memberdayakan penyandang disabilitas melalui pelatihan keterampilan, akses modal usaha, serta memfasilitasi akses mereka terhadap pekerjaan, pendidikan, dan layanan publik lainnya. Ini juga mencakup advokasi untuk memastikan fasilitas publik ramah disabilitas dan kebijakan inklusif diterapkan.

  4. Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan: Kemensos bertindak sebagai koordinator utama di tingkat pusat untuk memastikan program-program lintas sektor (misalnya kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, infrastruktur) selaras dengan prinsip-prinsip inklusi disabilitas. Mereka juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan organisasi penyandang disabilitas (OPD) untuk implementasi kebijakan.

  5. Pengawasan dan Advokasi Pelaksanaan Hak: Meskipun bukan lembaga penegak hukum murni, Kemensos memiliki peran penting dalam mengadvokasi dan mengawasi pelaksanaan hak-hak penyandang disabilitas. Apabila terjadi pelanggaran atau diskriminasi, Kemensos dapat mengambil langkah-langkah persuasif, mediasi, atau merujuk kasus kepada lembaga berwenang lainnya.

Membedah Makna "Penindakan" dalam Konteks Kemensos

Istilah "penindakan" seringkali menimbulkan konotasi negatif, seolah-olah penyandang disabilitas adalah objek yang perlu ditertibkan atau dihukum. Namun, dalam konteks Kementerian Sosial, "penindakan" harus dipahami sebagai tindakan responsif dan protektif yang diambil negara untuk menjamin hak-hak dan keselamatan penyandang disabilitas. Ini bukan "penindakan" dalam arti kriminalisasi atau hukuman, melainkan:

  1. Tindakan Penyelamatan (Rescue): Ketika penyandang disabilitas ditemukan dalam kondisi telantar, menjadi korban kekerasan, eksploitasi, atau hidup di jalanan tanpa perawatan memadai, Kemensos (bersama dinas sosial di daerah dan aparat terkait) akan melakukan penjangkauan dan penyelamatan. Tujuannya adalah memindahkan mereka dari situasi berbahaya ke lingkungan yang aman dan mendukung, seperti rumah singgah atau fasilitas rehabilitasi sosial, dengan prioritas reintegrasi keluarga.

  2. Tindakan Pencegahan dan Perlindungan: Ini mencakup intervensi dini untuk mencegah penelantaran, kekerasan, atau diskriminasi. Misalnya, mediasi kasus diskriminasi di tempat kerja atau pendidikan, atau penyediaan layanan pendampingan hukum.

  3. Tindakan Penegakan Hak: Jika ada institusi atau pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dalam menyediakan aksesibilitas atau layanan bagi penyandang disabilitas sesuai undang-undang, Kemensos dapat melakukan teguran, fasilitasi, atau advokasi agar hak-hak tersebut dipenuhi. Ini adalah "penindakan" terhadap pelanggaran hak, bukan terhadap individu penyandang disabilitas.

Penting untuk digarisbawahi bahwa setiap "tindakan" yang diambil oleh Kemensos harus berlandaskan pada prinsip penghormatan martabat, nondiskriminasi, partisipasi penuh, dan kepentingan terbaik penyandang disabilitas. Prosesnya harus transparan, melibatkan penyandang disabilitas atau walinya, dan berorientasi pada solusi yang inklusif dan berkelanjutan.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Meskipun landasan hukum dan pergeseran paradigma telah jelas, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan:

  • Keterbatasan Sumber Daya: Baik anggaran maupun tenaga ahli yang terlatih masih belum memadai.
  • Stigma dan Diskriminasi: Persepsi negatif masyarakat masih menjadi hambatan besar dalam upaya inklusi.
  • Koordinasi Lintas Sektor: Sinkronisasi program antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah belum optimal.
  • Partisipasi Penyandang Disabilitas: Keterlibatan aktif OPD dalam perumusan dan evaluasi kebijakan perlu terus ditingkatkan.

Kementerian Sosial memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan yang kuat dalam mewujudkan Indonesia yang inklusif. Kedudukannya sebagai motor penggerak perlindungan sosial, rehabilitasi, dan pemberdayaan penyandang disabilitas harus terus diperkuat. Pergeseran dari "penindakan" yang bersifat reaktif dan terfokus pada masalah, menjadi perlindungan holistik yang proaktif, berlandaskan hak, dan berorientasi pada potensi adalah kunci untuk memastikan setiap penyandang disabilitas dapat hidup bermartabat dan berpartisipasi penuh dalam pembangunan bangsa. Ini adalah janji kemerdekaan yang harus kita tunaikan bersama.

Exit mobile version