Berita  

Kebijakan Pemerintah tentang Rehabilitasi Pasca-Bencana

Merajut Asa Setelah Badai: Menggali Kedalaman Kebijakan Rehabilitasi Pasca-Bencana Pemerintah Indonesia

Bencana adalah realitas yang tak terhindarkan, seringkali datang tanpa permisi, meninggalkan jejak kehancuran fisik, trauma emosional, dan kerugian ekonomi yang mendalam. Namun, di balik setiap kehancuran, selalu ada upaya untuk bangkit, membangun kembali, dan menata masa depan. Di sinilah peran krusial kebijakan pemerintah tentang rehabilitasi pasca-bencana menjadi sorotan utama. Bukan sekadar memperbaiki apa yang rusak, melainkan sebuah proses holistik untuk "membangun kembali lebih baik" (build back better), menciptakan masyarakat yang lebih tangguh dan berdaya.

Definisi dan Filosofi Rehabilitasi Pasca-Bencana

Rehabilitasi pasca-bencana adalah serangkaian upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan yang terkena bencana agar berfungsi kembali secara normal. Ini bukan sekadar fase pemulihan fisik, melainkan mencakup dimensi yang lebih luas:

  1. Pemulihan Sosial: Mengembalikan kehidupan sosial dan psikologis masyarakat, termasuk dukungan psikososial, penyatuan kembali keluarga, dan revitalisasi kearifan lokal.
  2. Pemulihan Ekonomi: Menghidupkan kembali mata pencarian, memulihkan pasar, dan memberikan bantuan modal usaha.
  3. Pemulihan Lingkungan: Restorasi ekosistem yang rusak, pengelolaan sampah bencana, dan mitigasi risiko lingkungan di masa depan.
  4. Pemulihan Sarana dan Prasarana: Membangun kembali infrastruktur vital seperti rumah tinggal, sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya.
  5. Pemulihan Keamanan dan Ketertiban: Menjamin rasa aman dan memulihkan fungsi pemerintahan dan layanan publik.

Filosofi yang mendasari kebijakan ini adalah "Membangun Kembali Lebih Baik" (Build Back Better). Artinya, proses rehabilitasi tidak hanya mengembalikan kondisi seperti sebelum bencana, tetapi juga memanfaatkan momentum untuk mengurangi kerentanan, meningkatkan kapasitas, dan membangun infrastruktur yang lebih aman, tahan bencana, dan berkelanjutan.

Kerangka Hukum dan Regulasi

Pemerintah Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat untuk penanganan bencana, termasuk fase rehabilitasi. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah payung hukum utama yang menjadi acuan. Di dalamnya, rehabilitasi didefinisikan sebagai salah satu tahapan penting dalam siklus penanggulangan bencana, yang berlangsung setelah tanggap darurat dan sebelum rekonstruksi.

Beberapa regulasi pendukung lainnya meliputi:

  • Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, yang merinci tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi.
  • Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 17 Tahun 2018 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mengukuhkan peran BNPB sebagai koordinator utama.
  • Peraturan Kepala BNPB yang lebih teknis, mengatur standar, pedoman, dan prosedur pelaksanaan rehabilitasi di lapangan.

Kerangka hukum ini menekankan prinsip-prinsip penting seperti:

  • Kemanusiaan: Mengedepankan kepentingan korban bencana.
  • Keadilan dan Kesetaraan: Memastikan bantuan dan pemulihan merata tanpa diskriminasi.
  • Keterpaduan: Sinergi antarlembaga dan lintas sektor.
  • Akuntabilitas: Transparansi dalam pengelolaan sumber daya.
  • Kemitraan: Melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat, swasta, dan LSM.
  • Nirlaba: Bantuan bencana tidak untuk mencari keuntungan.

Pilar-Pilar Kebijakan Rehabilitasi Pemerintah

Kebijakan rehabilitasi pemerintah diimplementasikan melalui beberapa pilar utama:

  1. Asesmen dan Perencanaan Komprehensif:

    • Kajian Kebutuhan Pascabencana (Jitupasna): Dilakukan segera setelah bencana untuk mengidentifikasi tingkat kerusakan, kerugian, dan kebutuhan mendesak di berbagai sektor.
    • Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (R3P): Berdasarkan hasil jitupasna, pemerintah menyusun R3P yang menjadi dokumen panduan strategis, merinci program, kegiatan, anggaran, dan target waktu pemulihan. R3P ini bersifat partisipatif, melibatkan aspirasi masyarakat terdampak.
  2. Bantuan dan Stimulus Ekonomi:

    • Pemberian bantuan langsung tunai (BLT) untuk kebutuhan dasar.
    • Program padat karya untuk menciptakan lapangan kerja sementara.
    • Stimulus modal usaha kecil dan menengah (UMKM) agar roda ekonomi kembali berputar.
    • Pelatihan keterampilan baru untuk masyarakat yang kehilangan mata pencarian.
  3. Pembangunan Kembali Infrastruktur yang Tahan Bencana:

    • Pembangunan hunian tetap (huntap) dengan standar bangunan tahan gempa/bencana, seringkali dilengkapi fasilitas dasar.
    • Perbaikan dan pembangunan ulang fasilitas publik (sekolah, puskesmas, pasar) dengan desain yang lebih kuat dan mempertimbangkan mitigasi bencana.
    • Pembangunan kembali jaringan jalan, jembatan, dan irigasi.
    • Relokasi masyarakat dari zona bahaya tinggi ke tempat yang lebih aman.
  4. Dukungan Psikososial dan Pemulihan Sosial:

    • Layanan konseling dan trauma healing, terutama bagi anak-anak dan kelompok rentan.
    • Pengaktifan kembali kegiatan keagamaan, budaya, dan sosial di masyarakat.
    • Fasilitasi penyatuan kembali keluarga yang terpisah.
    • Penguatan kembali pranata sosial dan kearifan lokal dalam menghadapi bencana.
  5. Pemulihan Lingkungan dan Tata Ruang:

    • Pembersihan puing dan sampah bencana secara terkoordinasi.
    • Reboisasi dan penghijauan di area yang rusak.
    • Peninjauan ulang rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan mempertimbangkan risiko bencana, sehingga pembangunan ke depan lebih aman dan berkelanjutan.

Tantangan dalam Implementasi Kebijakan

Meskipun kerangka kebijakan sudah komprehensif, implementasinya tidak lepas dari berbagai tantangan:

  1. Pendanaan: Skala bencana seringkali membutuhkan anggaran yang sangat besar, melampaui kemampuan APBN/APBD. Ketergantungan pada bantuan internasional atau pinjaman bisa menjadi dilema.
  2. Koordinasi: Multisektoralnya penanganan bencana menuntut koordinasi yang prima antarlembaga pemerintah, dengan pemerintah daerah, dan juga dengan LSM, swasta, serta masyarakat. Konflik kepentingan atau ego sektoral bisa menghambat.
  3. Pengadaan Lahan: Terutama untuk relokasi atau pembangunan hunian tetap, seringkali menghadapi kendala terkait status kepemilikan lahan atau penolakan masyarakat.
  4. Partisipasi Masyarakat: Membangun kembali dengan melibatkan masyarakat adalah kunci, namun seringkali sulit untuk memastikan partisipasi yang bermakna dan mengakomodasi semua aspirasi.
  5. Keberlanjutan Program: Setelah fase rehabilitasi dan rekonstruksi selesai, tantangan berikutnya adalah memastikan program-program pemulihan sosial dan ekonomi dapat berkelanjutan tanpa ketergantungan pada bantuan eksternal.
  6. Aspek Psikososial Jangka Panjang: Dampak trauma bisa berlangsung bertahun-tahun. Kebijakan harus memastikan dukungan psikososial tidak berhenti setelah fase awal.

Peluang dan Arah Masa Depan

Di tengah tantangan, ada banyak peluang untuk terus menyempurnakan kebijakan rehabilitasi:

  1. Pemanfaatan Teknologi: Penggunaan data spasial, drone, dan teknologi informasi untuk asesmen cepat, pemantauan, dan diseminasi informasi yang akurat.
  2. Penguatan Kapasitas Lokal: Melatih dan memberdayakan masyarakat serta pemerintah daerah agar lebih mandiri dalam merencanakan dan melaksanakan rehabilitasi.
  3. Integrasi Perubahan Iklim: Memasukkan pertimbangan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam setiap rencana rehabilitasi, mengingat frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi yang meningkat.
  4. Keterlibatan Sektor Swasta: Mendorong lebih banyak partisipasi sektor swasta dalam pembiayaan, inovasi, dan pelaksanaan program rehabilitasi melalui skema CSR atau kemitraan.
  5. Edukasi dan Literasi Bencana: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko bencana di wilayahnya dan pentingnya membangun kembali dengan prinsip tahan bencana.

Kesimpulan

Kebijakan pemerintah tentang rehabilitasi pasca-bencana adalah cerminan komitmen negara untuk hadir di saat-saat terberat bagi rakyatnya. Ia adalah sebuah peta jalan yang kompleks, dinamis, dan terus berkembang, bukan hanya untuk memperbaiki apa yang rusak, melainkan untuk menenun kembali benang-benang kehidupan yang putus, membangun struktur yang lebih kuat, dan menumbuhkan harapan baru di atas puing-puing. Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, sektor swasta, dan berbagai pemangku kepentingan, proses merajut asa setelah badai ini dapat berjalan lebih efektif, menciptakan Indonesia yang lebih tangguh dan berdaya di hadapan ancaman bencana.

Exit mobile version