Kebijakan Pemerintah tentang Pengurangan Resiko Bencana (PRB)

Merajut Ketangguhan Bangsa: Mengupas Tuntas Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Pengurangan Risiko Bencana

Indonesia, sebuah gugusan zamrud khatulistiwa yang indah, juga dikenal sebagai "supermarket bencana". Terletak di Cincin Api Pasifik, dikelilingi lempeng tektonik aktif, serta rentan terhadap perubahan iklim, membuat negara ini menjadi salah satu yang paling rawan bencana di dunia. Mulai dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, hingga kekeringan, bencana telah menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi kehidupan masyarakat Indonesia.

Menyadari urgensi tersebut, Pemerintah Indonesia telah menggeser paradigma penanggulangan bencana dari responsif pasca-bencana menjadi proaktif dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Pergeseran ini bukan sekadar perubahan istilah, melainkan sebuah transformasi fundamental dalam cara negara menghadapi ancaman, dengan tujuan utama membangun masyarakat dan bangsa yang tangguh dan berdaya.

Urgensi PRB: Dari Respon Darurat Menuju Budaya Keselamatan

Sebelum tahun 2007, penanganan bencana di Indonesia lebih banyak berfokus pada fase tanggap darurat dan rehabilitasi pasca-bencana. Korban berjatuhan, kerugian ekonomi membengkak, dan pembangunan terhambat adalah konsekuensi yang berulang. Tragedi Tsunami Aceh tahun 2004 menjadi titik balik yang menyadarkan pemerintah dan masyarakat akan pentingnya pendekatan yang lebih komprehensif dan preventif.

PRB adalah upaya sistematis untuk menganalisis dan mengelola faktor-faktor penyebab bencana, termasuk mengurangi tingkat keterpaparan terhadap bahaya, mengurangi kerentanan masyarakat dan aset, mengelola lahan dan lingkungan secara bijaksana, serta meningkatkan kesiapsiagaan untuk kejadian-kejadian buruk. Ini adalah investasi jangka panjang yang terbukti lebih efektif dan efisien dibandingkan hanya menanggulangi dampak setelah bencana terjadi.

Pilar-Pilar Kebijakan Pemerintah dalam PRB

Pemerintah Indonesia telah membangun kerangka kebijakan PRB yang kuat, melibatkan berbagai sektor dan tingkatan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kerangka Hukum dan Peraturan: Fondasi yang Kuat

Fondasi utama kebijakan PRB di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini merupakan tonggak penting yang mengubah pendekatan penanganan bencana di Indonesia secara radikal. Beberapa poin pentingnya meliputi:

  • Definisi Bencana dan Penanggulangan Bencana: Mencakup PRB, kesiapsiagaan, tanggap darurat, serta rehabilitasi dan rekonstruksi.
  • Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB): Sebagai lembaga koordinator utama di tingkat pusat, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
  • Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana: Seperti kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, non-diskriminasi, dan partisipasi.
  • Siklus Penanggulangan Bencana: Membagi fase pra-bencana, saat bencana, dan pasca-bencana dengan fokus pada upaya PRB di fase pra-bencana.

Selain UU 24/2007, berbagai peraturan turunannya juga menjadi bagian integral, seperti:

  • Peraturan Pemerintah (PP): Mengatur pelaksanaan UU, contohnya PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.
  • Peraturan Presiden (Perpres): Mengatur pembentukan BNPB (Perpres No. 8 Tahun 2008), serta Rencana Nasional PRB.
  • Peraturan Kepala BNPB: Merinci lebih lanjut teknis pelaksanaan PRB, termasuk standar operasional prosedur, pedoman penyusunan rencana kontingensi, dan lain-lain.
  • Peraturan Daerah (Perda): Banyak pemerintah daerah telah mengadopsi UU 24/2007 ke dalam Perda Penanggulangan Bencana, menyesuaikannya dengan karakteristik risiko lokal.

2. Kerangka Kelembagaan: Koordinasi Multisektoral

Keberhasilan PRB sangat bergantung pada koordinasi yang kuat antarlembaga.

  • BNPB: Bertanggung jawab dalam perumusan dan penetapan kebijakan PRB, serta pengoordinasian pelaksanaan kegiatan PRB secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
  • BPBD: Merupakan ujung tombak di daerah, bertanggung jawab dalam koordinasi dan pelaksanaan PRB di wilayahnya, serta bersinergi dengan BNPB.
  • Kementerian/Lembaga Terkait: Hampir semua kementerian/lembaga memiliki peran dalam PRB sesuai tupoksinya. Misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam mitigasi struktural, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam pendidikan kebencanaan, Kementerian Kesehatan dalam kesiapsiagaan medis, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam pengelolaan lingkungan.
  • Pemerintah Daerah: Sebagai pelaksana utama di lapangan, memastikan integrasi PRB ke dalam rencana pembangunan daerah (RPJMD dan RTRW).

3. Pendekatan Strategis dan Program Utama:

Pemerintah menerapkan berbagai strategi dan program untuk mengimplementasikan PRB:

  • Penyusunan Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Aksi PRB: BNPB dan BPBD memfasilitasi penyusunan KRB di setiap daerah untuk mengidentifikasi potensi bahaya, tingkat kerentanan, dan kapasitas, yang kemudian menjadi dasar penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi PRB.
  • Mitigasi Struktural dan Non-Struktural:
    • Struktural: Pembangunan infrastruktur tahan bencana (misalnya, bendungan, tanggul, saluran drainase, bangunan tahan gempa), sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS) untuk tsunami dan banjir, serta rekayasa lingkungan.
    • Non-Struktural: Perencanaan tata ruang berbasis risiko (RTRW), penyusunan dan penegakan standar bangunan tahan bencana, pendidikan dan pelatihan kebencanaan, simulasi evakuasi, kampanye kesadaran publik, serta asuransi bencana.
  • Peningkatan Kapasitas dan Kesiapsiagaan Masyarakat: Melalui program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana), pembentukan forum PRB di tingkat lokal, serta pelatihan bagi relawan bencana. Ini mendorong partisipasi aktif masyarakat sebagai subjek, bukan hanya objek PRB.
  • Integrasi PRB ke dalam Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah: PRB tidak lagi dipandang sebagai kegiatan sektoral, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari agenda pembangunan berkelanjutan. Hal ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
  • Sistem Peringatan Dini (EWS): Pengembangan dan pemeliharaan sistem EWS yang terintegrasi untuk berbagai jenis bencana, memastikan informasi sampai ke masyarakat secara cepat dan akurat.
  • Penguatan Data dan Informasi Kebencanaan: Pemanfaatan teknologi informasi geografis (SIG), pemetaan risiko, dan pengembangan portal informasi bencana untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.

4. Pendanaan dan Sumber Daya:

Pemerintah mengalokasikan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kegiatan PRB. Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta, lembaga donor internasional, dan filantropi juga didorong untuk memperluas cakupan dan dampak program PRB.

Tantangan dalam Implementasi Kebijakan PRB

Meskipun kerangka kebijakan sudah kokoh, implementasinya menghadapi sejumlah tantangan:

  • Keterbatasan Anggaran: Alokasi dana PRB seringkali masih dianggap sebagai pengeluaran, bukan investasi, sehingga prioritasnya kalah dengan sektor lain.
  • Koordinasi Antar-Sektor: Ego sektoral dan kurangnya koordinasi lintas kementerian/lembaga di tingkat pusat maupun daerah masih menjadi hambatan.
  • Kepatuhan Tata Ruang: Pelanggaran tata ruang, pembangunan di daerah rawan bencana, dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran ini terus terjadi.
  • Rendahnya Kesadaran Masyarakat: Masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami risiko di sekitarnya dan enggan berpartisipasi aktif dalam upaya PRB.
  • Perubahan Iklim: Bencana hidrometeorologi semakin intens dan frekuensinya meningkat, menuntut adaptasi kebijakan yang lebih cepat dan fleksibel.
  • Data dan Informasi: Ketersediaan data risiko yang mutakhir dan terintegrasi masih perlu ditingkatkan, terutama di tingkat lokal.

Peluang dan Arah Masa Depan

Di tengah tantangan, ada banyak peluang untuk memperkuat PRB di Indonesia:

  • Pemanfaatan Teknologi: Implementasi kecerdasan buatan (AI), big data, Internet of Things (IoT), dan teknologi geospasial untuk pemantauan, peringatan dini, dan analisis risiko yang lebih akurat.
  • Penguatan Kapasitas Lokal: Mendorong lebih banyak Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dan memperkuat peran BPBD sebagai koordinator utama di daerah.
  • Keterlibatan Sektor Swasta: Mengajak sektor swasta untuk berinvestasi dalam PRB, baik melalui CSR, inovasi produk, maupun asuransi bencana.
  • Integrasi Adaptasi Perubahan Iklim: Memasukkan strategi adaptasi perubahan iklim secara lebih mendalam ke dalam kerangka PRB.
  • Edukasi dan Literasi Kebencanaan: Mengintegrasikan pendidikan kebencanaan ke dalam kurikulum formal dan non-formal sejak dini.
  • Pendekatan Ekosistem: Melindungi dan merestorasi ekosistem alami (misalnya, hutan mangrove, terumbu karang) sebagai benteng alami terhadap bencana.

Kesimpulan

Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Pengurangan Risiko Bencana telah menunjukkan komitmen yang kuat dan progres yang signifikan. Dari kerangka hukum yang kokoh hingga lembaga yang terstruktur, langkah-langkah PRB terus diupayakan untuk mengurangi dampak buruk bencana. Namun, perjalanan menuju ketangguhan seutuhnya masih panjang.

Diperlukan sinergi yang lebih erat antara pemerintah pusat dan daerah, dukungan aktif dari masyarakat, inovasi teknologi, serta komitmen yang tak tergoyahkan untuk menjadikan PRB sebagai budaya yang meresap dalam setiap aspek kehidupan dan pembangunan. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat benar-benar merajut ketangguhan bangsa, mengubah tantangan bencana menjadi peluang untuk membangun masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.

Exit mobile version