Jerat Digital dan Ruang Publik: Menyelami Implementasi UU ITE dalam Kebebasan Berekspresi
Di era digital yang semakin tak terbatas, internet telah menjadi arena utama bagi pertukaran informasi, gagasan, dan ekspresi. Namun, kebebasan ini seringkali berbenturan dengan regulasi, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang telah direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016, dan kembali direvisi pada tahun 2024. Sejak kelahirannya, UU ITE telah menjadi pisau bermata dua: di satu sisi ia diharapkan mampu menciptakan ketertiban di ruang siber, namun di sisi lain ia kerap dituding membungkam kritik dan mengancam kebebasan berekspresi warga.
UU ITE: Antara Janji Penertiban dan Ancaman Kriminalisasi
Awalnya, UU ITE dibentuk dengan niat mulia untuk mengatur transaksi elektronik, melindungi data pribadi, serta menindak kejahatan siber seperti penipuan online, peretasan, dan penyebaran konten ilegal seperti pornografi anak. Pasal-pasal terkait ini sejatinya sangat relevan dan dibutuhkan dalam lanskap digital yang kompleks.
Namun, perhatian utama masyarakat dan pegiat hak asasi manusia tertuju pada beberapa pasal "karet" yang seringkali disalahgunakan, terutama Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Ketidakjelasan definisi dalam pasal-pasal ini menjadi celah bagi interpretasi yang bias dan penyalahgunaan wewenang.
Efek Gentar (Chilling Effect) dan Pembungkaman Kritik
Implementasi UU ITE, khususnya pasal-pasal kontroversial tersebut, telah menimbulkan apa yang disebut "efek gentar" atau chilling effect. Masyarakat menjadi takut untuk mengemukakan pendapat, kritik, atau bahkan keluhan di ranah digital, khawatir akan berujung pada laporan polisi dan jeratan hukum. Kasus-kasus yang menjerat warga biasa, aktivis, jurnalis, hingga akademisi karena mengkritik pejabat publik, perusahaan, atau kebijakan tertentu, menjadi bukti nyata betapa mudahnya pasal-pasal ini digunakan sebagai alat pembungkam.
Sebagai contoh, seorang konsumen yang mengeluhkan buruknya layanan produk di media sosial bisa saja dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik. Seorang aktivis lingkungan yang menyoroti dampak negatif korporasi terhadap lingkungan dapat dituduh menyebarkan kebencian. Ironisnya, delik aduan yang seharusnya menjadi ranah perdata (seperti pencemaran nama baik) justru dibawa ke ranah pidana melalui UU ITE, yang konsekuensinya jauh lebih berat, termasuk ancaman pidana penjara.
Kriminalisasi terhadap ekspresi ini bukan hanya merugikan individu yang terjerat, tetapi juga secara sistematis mengikis ruang demokrasi. Kebebasan berekspresi adalah pilar fundamental demokrasi, memungkinkan akuntabilitas pemerintah, mendorong diskusi publik, dan memfasilitasi pertukaran ide yang sehat. Ketika pilar ini digoyahkan, kualitas demokrasi pun terancam.
Upaya Revisi dan Tantangan Berkelanjutan
Menyadari gelombang protes dan banyaknya korban, pemerintah telah melakukan upaya revisi UU ITE. Revisi pertama pada tahun 2016, dan yang terbaru pada tahun 2024, diharapkan dapat mengurangi multitafsir dan meminimalisir kriminalisasi. Beberapa perubahan penting meliputi:
- Pengurangan Ancaman Pidana: Ancaman hukuman penjara dan denda untuk beberapa pasal dikurangi agar proporsional.
- Penegasan Delik Aduan: Lebih memperjelas bahwa beberapa pasal merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses jika ada aduan dari korban langsung.
- Perumusan Ulang Pasal Karet: Upaya untuk merumuskan ulang definisi agar lebih spesifik dan tidak multitafsir, misalnya terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
- SKB Pedoman Implementasi: Pada tahun 2021, diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kejaksaan Agung, dan Polri untuk memberikan pedoman interpretasi bagi aparat penegak hukum agar lebih hati-hati dalam memproses laporan terkait UU ITE.
Meskipun ada upaya perbaikan, tantangan tetap besar. Implementasi di lapangan masih menjadi kunci. Apakah aparat penegak hukum akan benar-benar mengindahkan semangat revisi dan SKB? Apakah masih akan ada celah bagi pelapor untuk menggunakan UU ITE sebagai alat balas dendam atau pembungkaman? Pengawasan publik dan peran aktif masyarakat sipil sangat krusial untuk memastikan bahwa semangat kebebasan berekspresi tetap terjaga.
Mencari Titik Keseimbangan: Antara Regulasi dan Hak Asasi
Menciptakan ruang digital yang aman, tertib, dan bertanggung jawab adalah keniscayaan. Namun, ini tidak boleh dicapai dengan mengorbankan hak fundamental warga negara untuk berekspresi. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk mencari titik keseimbangan yang tepat.
Beberapa langkah ke depan yang perlu terus didorong antara lain:
- Edukasi Hukum yang Komprehensif: Tidak hanya untuk masyarakat, tetapi juga untuk aparat penegak hukum agar memiliki pemahaman yang seragam dan proporsional mengenai batasan kebebasan berekspresi dan penerapan UU ITE.
- Mendorong Mediasi dan Restorative Justice: Untuk kasus-kasus ringan, prioritas harus diberikan pada penyelesaian di luar jalur pidana, mengedepankan mediasi dan keadilan restoratif.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Proses penegakan hukum harus transparan dan akuntabel, sehingga masyarakat dapat memantau dan memberikan masukan.
- Literasi Digital: Meningkatkan literasi digital masyarakat agar lebih bijak dalam berekspresi di ruang siber dan memahami konsekuensi hukum dari tindakan mereka.
Pada akhirnya, UU ITE sejatinya adalah alat. Efektivitas dan keadilannya sangat bergantung pada bagaimana alat itu digunakan. Jika digunakan dengan bijak, ia dapat menjadi pelindung. Namun, jika digunakan secara sembrono, ia bisa menjadi jerat yang membahayakan pondasi demokrasi dan kebebasan berekspresi yang telah susah payah diperjuangkan. Tantangan kita adalah memastikan bahwa ruang digital tetap menjadi arena yang bebas dan aman bagi setiap suara, tanpa rasa takut akan kriminalisasi yang membayangi.